Sabtu, Juli 12, 2008

Re-thinking, re-orientasi

Minggu lalu saya pulang kampung ke Jember. Nyambangi Ayah Ibu, sekalian nengok istri+anak2 yg sedang liburan disana dan menghadiri tasyakuran aqiqah-an anak ke-2 adik saya. Berangkat hari jumat malam dg kereta api Mutiara Timur, tiba di Jember jam 3.30 WIB. Begitu keluar kereta .... wussss .... brrrr .... langsung disambut hawa yg amat dingin (maklum, karena terbiasa hidup di Surabaya yg cuacanya amat panas & gerah). Dilanjutkan dengan naik ojek, hwaduh...duingin sekali. Sampai2 saya harus berlindung di belakang punggung bapak tukang ojeknya. Habis dinginnya gak ketulungan.

Tiap kali pulang kampung, ada 1 kebiasaan "baru" yg saya lakukan, yaitu ber-diskusi dg ayah. Lho kok dibilang "baru" ? Ya, karena kebiasaan itu baru saya (atau lebih tepatnya kami, ayah & anak) lakukan sejak beberapa tahun setelah saya menikah. Lho, jadi sebelumnya gak pernah dong ? Ya, karena sebelumnya lebih banyak pembicaraan itu berlaku 1 arah saja, ayah nuturi anaknya. Itupun jarang terjadi. Mungkin disebabkan karena profesi Ayah sebagai Dokter-lah yg menyebabkan kurangnya waktu beliau bagi kami, anak-anaknya. Itu topik lain. Kali ini saya tidak akan berbicara tentang hal itu. Tapi tentang topik yang menjadi pembicaraan kami minggu lalu.

Sabtu malam itu, sekitar tengah malam, ya...jam 24.00, Ayah mendadak bangun. Beliau sejak habis isya' tertidur di kamar tengah dan saat itu terbangun dan hendak pindah ke kamar beliau. Saat itulah beliau melihat saya yg sedang termenung di depan kolam ikan di terletak di bagian tengah rumah kami. Beberapa menit kemudian saya dipanggilnya ke kamar beliau. Ternyata beliau mengajak saya berdiskusi. Ini adalah pertama kalinya saya berdiskusi dengan beliau setelah lewat tengah malam. Pilihan waktu yg gak lazim..hehehe...

Beliau resah, khawatir dan prihatin dengan saya, dengan pola hidup saya, dengan cara hidup saya. Menurutnya, saya sudah teracuni dengan pola pikir orang kota, pola pikir barat. Kedonyan katanya (kedonyan = bahasa Jawa yg berarti selalu berpikir tentang materi dan hal-hal lainnya yg bersifat duniawi). Dia melihat bahwa kengototan saya untuk berdikari (alias menjadi Full TDA) pada usia tertentu lebih bersifat duniawi. Kenapa ? Karena dengan itu waktu saya banyak tersita hanya untuk urusan pekerjaan dan bisnis (karena status saya masih amphibi, masih bekerja di perusahaan dan diluar jam kantor masih harus mengurusi usaha di bidang garmen dan IT). Waktu untuk keluarga kurang, jarang ber-silaturrahim, kebiasaan dzikir berkurang, dan beberapa kebiasaan ibadah lainnya yg sudah dibina dan ditanamkan sejak kecil berkurang atau malah ada yg tidak dijalankan lagi. Saya dimintanya untuk berpikir lagi tentang apa tujuan hidup saya.

Beliau men-ceramahi saya tentang proses lahir, hidup dan matinya manusia. Bahwa setiap manusia, saat di kandungan dia sendiri, saat mati dia sendiri, dan saat dihadapkan di pengadilan Allah di Padang Mahsyar, dia sendiri. Karena itu manusia seharusnya banyak-banyak memikirkan dan mencari sangu/bekal untuk menghadapi peristiwa pengadilan itu.

"Harta itu urusan kecil. Pekerjaan / karir / bisnis, itu urusan kecil. Bahkan anak dan istri-pun, itu urusan kecil. Wong di Padang Mahsyar nanti setiap orang cuma memikirkan dirinya sendiri saja kok. Mereka sudah gak peduli lagi dengan anaknya, istrinya, mobilnya, rumahnya. Karena itu, jangan sampai kamu sibuk mengurusi hal-hal yg kecil itu sehingga kamu lupa pada urusan yg jauh lebih besar, yaitu urusan akhirat, urusan mencari bekal untuk di pengadilan Allah. Semua yg kamu lakukan, SEMUANYA, harus selalu berpijak pada urusan besar itu. Motivasimu bukan karena istri, bukan karena anak, bukan karena siapapun, tapi hanya karena Allah. Dengan demikian, segala yang kamu lakukan akan bernilai ibadah. Apa yg kamu kerjakan adalah demi memenuhi bekal di akhirat nanti. "

Setelah diskusi itu, saya pun semakin termenung. Saya mesti mendefinisikan lagi tujuan hidup saya, merubah cara berpikir saya dan merubah orientasi hidup saya. Apakah benar bahwa semua yg saya lakukan adalah demi keluarga ? Ataukah demi ambisi pribadi saja ? Benarkah say sudah meletakkan urusan sesuai prioritas (ke-1 Tuhan, ke-2 Keluarga, ke-3 Pekerjaan / bisnis) ? Jika belum, inilah saatnya untuk BERUBAH. Mumpung belum terlambat, mumpung saya masih diberi kesempatan hidup oleh-Nya. Alhamdulillah....saya masih di sayang oleh Allah. Alhamdulillah....masih ada yg mengingatkan saya.

Bagaimana pendapat anda ?


Salam,

Faiz

0 comments:

Posting Komentar